Ketikamanusia menerima keselamatan Tuhan dan perbekalan-Nya untuk kehidupan mereka, barulah kerinduan untuk mencari, dan kehampaan rohani manusia dapat terpenuhi. Jika rakyat suatu negara atau suatu bangsa tidak dapat menerima keselamatan dan pemeliharaan Tuhan, maka negara atau bangsa semacam itu akan berada di jalan menuju kehancuran, menuju 2 Membuka jiwa. Beramal juga membantu membuka serta mencerahkan jiwa. Ketika mengetahui penderitaan orang lain, kita akan merasa buruk atau sedih sehingga jiwa atau hati akan lebih tersentuh untk membantu. 3. Menjadikan diri lebih bersosial. Kehidupan sosial secara otomatis akan meningkat ketika kita melakukan amal. IbnuMajah). Petuah dan nasihat "kehidupan dunia akan menentukan kehidupan akhirat" adalah benar adanya. Untuk itu ada beberapa nasihat agama yang dapat kita jadikan sebagai pedoman hidup sebagai bekal kehidupan akhirat. Pertama, hendaknya kita bertaqwa dengan cara menjalankan perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Bekalbekal tersebut di antaranya adalah: 1. Keimanan kepada Allah, malaikat, kitab-kitab, para Rasul-Nya dan hari Akhir serta Qadar baik dan buruk. 2. Menjaga shalat fardhu lima waktu di masjid dengan mengerjakannya secara berjama'ah pada waktunya, dengan penuh kekhusyu'an dan memahami makna-maknanya. Orang yang paling bijak adalah orang yang selalu mengendalikan hawa nafsunya dan beramal untuk kehidupan setelah kematian" [HR Imam Tarmizi; Hadis Hasan] YA. Kemudian beliau ditanya lagi: Jadi UNTUK APA ORANG-ORANG HARUS BERAMAL? Rasulullah saw. menjawab: Setiap orang AKAN DIMUDAHKAN untuk melakukan APA YANG TELAH MENJADI TAKDIRNYA PENTINGNYABERIMAN KEPADA HARI AKHIR A. Pengertian Iman Kepada Hari Akhir Hari akhir atau hari kiamat adalah hari berakhirnya seluruh proses kehidupan makhluk hidup di dunia. Beriman kepada hari akhir (hari kiamat) artinya mempercayai dengan sepenuh hati bahwa hari kiamat itu pasti akan datang dan seluruh ummat manusia akan kembali dibangkitkan . YOGYAKARTA—“Dalam aktivitas di dunia tentu harapannya dapat menjadi aktivitas yang membawa bekal kita ke akhirat kelak. Apapun yang kita lakukan, aktivitas apapun yang kita kerjakan, profesi apapun yang kita pegang hari ini. Harapannya, aktivitas, kegiatan, dan profesi tersebut dapat mengantarkan kita pada kebaikan di akhirat kelak atau bahkan semua itu menjadi ladang amal bagi kita di akhirat kelak.” Disampaikan oleh Ustaz Aly Aulia Mudir Mu’allimin Yogyakarta saat memberika kajian qabla Tarawih di Masjid Islamic Center UAD pada Senin 11/04. Ustaz Aly menerangkan bahwa ada satu ayat dalam al-Qur’an yang menerangkan tentang mencari bekal untuk kehidupan akhirat. Allah Swt berfirman وَٱبۡتَغِ فِيمَآ ءَاتَىٰكَ ٱللَّهُ ٱلدَّارَ ٱلۡأٓخِرَةَۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ ٱلدُّنۡيَاۖ وَأَحۡسِن كَمَآ أَحۡسَنَ ٱللَّهُ إِلَيۡكَۖ وَلَا تَبۡغِ ٱلۡفَسَادَ فِي ٱلۡأَرۡضِۖ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلۡمُفۡسِدِينَ Artinya Dan carilah pahala negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepada kamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan. QS. Al-Qashash 77 Dalam ayat tersebut Allah Swt menggambarkan bahwa kita diperintahkan untuk mencari kehidupan di akhirat kelak, tetapi kita jangan sampai melupakan aktivitas kita di dunia. “Saya bisa memberikan gambaran bahwa kita bisa menomor satu kan akhirat, tetapi tidak bisa menomorduakan dunia. Dari ayat tersebut jelaslah bahwa sosok yang bisa betul-betul selamat yang mendapatkan banyak kenikmatan dan karunia adalah sosok yang mampu menyeimbangkan akhirat dan dunia nya. Mampu menjadikan aktivitas dunia menjadi bekal akhiratnya. Tentu momentum Ramadhan adalah waktu yang tepat untuk kita bisa memastikan apakah yang kita lakukan itu itu terdapat keberkahan dan dapat menjadi ladang atau bekal kita di akhirat nanti.” Tutur ustaz Aly. Menurut Ustaz Aly setidaknya ada empat karakter yang harus diperhatikan agar aktivitas dunia kita berpengaruh pada kehidupan akhirat kelak Pertama, memiliki karakter “al-Fahmu pemahaman”. Paham dan mengerti banyak yang memerintahkan kepada kita untuk mengetahui terlebih dahulu sesuatu sebelum mengerjakannya. Itu tidak hanya berkaitan dengan masalah keduniaan, tetapi juga berkaitan dengan aspek ibadah. Ibadah sendiri adalah aspek dan interaksi langsung antara kita dengan Allah Swt. Kita diperintahkan untuk belajar tentang salat sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah. Kita dituntut untuk belajar berbagai macam hal terkait dengan ajaran-ajaran agama termasuk di dalamnya aktivitas-aktivitas dan kegiatan-kegiatan yang kita lakukan, serta profesi yang kita jalani untuk dipastikan di dalamnya terdapat prinsip al-fahmu. Kita paham dan mengerti apa yang sedang atau akan kita lakukan. Jangan sampai kita melakukan sesuatu yang tidak kita pahami atau kita mengerjakan sesuatu yang jauh dari nilai-nilai pemahaman kita. Kita harus paham bahwa setiap aktivitas ada pertanggungjawabannya. Ketika aktivitas-aktivitas tersebut dilandasi dengan pemahaman dan literasi yang tepat, maka insya Allah itu akan membawa bekal di akhirat kelak. Rasulullah Saw bersabda كلكم راع و كلكم مسؤول عن راعيته Artinya Setiap kamu adalah pemimipin, dan setiap kamu akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpin. “Maka dari itu, aktivitas kita kegiatan kita pekerjaan kita profesi kita mari kita lakukan dengan keahlian dan profesionalitas kita. Kita mengerti bahwa ini adalah pekerjaan yang memang harus kita lakukan dengan benar. Momentum Ramadhan Ini adalah momentum untuk belajar belajar memahami berbagai hal, karena akan sia-sia perbuatan kita jika perbuatan itu tidak didasarkan pada pemahaman.” Pungkasnya. Kedua, karakter “ath-Tha’ah ketaatan”. Pemahaman ini juga harus didasarkan dengan ath-Tha’ah yaitu ketaatan kepada Allah Swt. Segala aktivitas dan profesi yang dilakukan adalah sebagai wujud daripada ketaatan kepada-Nya. Interaksinya adalah interaksi yang halalan thayyiban. Life style-nya halalan thayyiban. Gerak-geriknya halalan thayyiban. Inilah pribadi orang-orang yang beriman يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُلُواْ مِن طَيِّبَٰتِ مَا رَزَقۡنَٰكُمۡ وَٱشۡكُرُواْ لِلَّهِ إِن كُنتُمۡ إِيَّاهُ تَعۡبُدُونَ Artinya Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah dari rezeki yang baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika kamu hanya kepada-Nya menyembah. QS. Al-Baqarah 172 Ketika kita paham, lalu melakukan sesuatu sesuai dengan pemahaman, kemudian pemahaman itu diwujudkan dengan ketaatan kepada Allah, maka pastilah perbuatan itu menjadi perbuatan yang bernilai dan kelak menjadi bekal di akhirat. Adapun karakter yang ketiga adalah karakter ikhlas. Setelah paham apa yang dilakukan dan apa yang dilakukan sebagai wujud ketaatan kepada Allah. Selanjutnya adalah harus dilakukan dengan keikhlasan. Ikhlas adalah melakukan sesuatu dengan sebenar-benarnya untuk Allah dan sebenar-benarnya hasil dari pemahaman dan ketaatan kepada-Nya. Wujud ikhlas tidak ada kaitannya dengan imbalan, apakah akan mendapatkan imbalan atau tidak. Ketika kita tahu bahwasanya suatu perbuatan itu sifatnya sukarela, lalu kita melakukannya dengan semena-mena maka itu jauh dari yang namanya ikhlas. Adapun karakter yang keempat adalah “ats-Tsabat”. Tsabat artinya kuat pendirian. Dalam menjalani aktivitas tentu ada godaan dan tantangannya. Apakah itu dalam rangka untuk belajar memahaminya, atau apakah itu dalam rangka bercampur dengan sesuatu yang halal atau tidak, atau apakah ada kaitannya dengan motivasi atau lain sebagainya, tetapi ketika itu dibingkai dengan Tsabat yaitu kuat pendirian, maka akan muncul kesabaran ketika diuji dan akan muncul kesyukuran ketika diberi kenikmatan. Kemudian senantiasa istiqamah dalam menjalankannya. Itulah setidaknya empat karakter penting yang harus terus kita tumbuhkan, sehingga aktivitas kita benar-benar aktivitas yang dapat menjadi bekal di akhirat kelak. Agak sulit menjalani aktivitas dunia ketika aktivitas itu jauh dari pemahaman dan jauh dari nilai yang benar, apalagi jauh dari prinsip-prinsip ketaatan dan kepatuhan yang dilakukan dengan motivasi yang jauh dari keikhlasan. Dilakukan dengan sembarangan. Dikerjakan dengan asal-asalan, maka pastilah itu perbuatan yang jauh dari bernilai ketika mengharap di akhirat kelak. “Momentum Romadhon adalah momentum penting untuk kita melakukan sebuah perubahan. Perubahan dalam arti bukan fisik badan kita, tetapi perubahan budi pekerti dan karakter kita. Karakter yang penuh dengan pemahaman dari hanya sekedar ikut-ikutan. Mengedepankan aspek yang halal dan Thayyib daripada menghalalkan segala cara. Apalagi itu jauh dari nilai-nilai yang halal dan thayyib. Dia mau berinteraksi dengan sekuat tenaga dengan penuh keyakinan ketika itu dilaksanakan secara istiqamah Allah akan menjadikan semua perbuatan kita di dunia ini, aktivitas kita termasuk di dalamnya profesi kita bernilai.” “Apakah itu menjadi mahasiswa, guru, dosen, pegawai, dan lain sebagainya semuanya akan menjadi bekal di akhirat kelak ketika dijalani dengan pemahaman yang baik. Wujudnya adalah ketaatan kepada Allah dan interaksinya kepada yang halal dan Thayyib, sungguh-sungguh dalam menjalankan, teguh pendiriannya, dan jauh dari godaan-godaan yang ia bisa lakukan. Itulah yang akan menjadi pribadi yang beruntung tidak hanya di dunia tetapi di akhirat.” Tegas ustaz Aly Aulia, Mudir Mu’allimin Yogyakarta. Ahmad Farhan Jakarta - 'Bekal apa yang harus dipersiapkan oleh manusia untuk menghadapi kematian atau pun hari kiamat?' Pertanyaan ini biasa ditemukan dalam contoh soal Pendidikan Agama Islam Kelas 12 'kan, detikers? Namun, tidak perlu tersebut dapat dijawab melalui salah satu sabda Rasulullah SAW. Berikut bunyi bacaan dan terjemahannya,عَنْ أبي يَعْلَى شَدَّادِ بْن أَوْسٍ عن النَّبيّ ﷺ قَالَ الكَيِّس مَنْ دَانَ نَفْسَهُ, وَعَمِلَ لِما بَعْدَ الْموْتِ, وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَه هَواهَا, وتمَنَّى عَلَى اللَّهِ رواه التِّرْمِذيُّ وقالَ حديثٌ حَسَنٌ, وقال الترمذي وغيره من العلماء معني دان نفسه أي حاسبهاArtinya "Orang yang cerdas adalah yang menekan nafsunya dan beramal untuk kehidupan setelah kematian, sedangkan orang dungu adalah yang mengikuti hawa nafsunya dan mengangankan kepada Allah berbagai angan-angan." HR At Tirmidzi.Selain itu, bekal yang perlu dipersiapkan sebelum bertemu dengan Allah SWT juga sempat disinggung dalam surat Al Kahfi ayat 110قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًاArtinya "Katakanlah Muhammad, "Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang telah menerima wahyu, bahwa sesungguhnya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa." Maka barangsiapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya maka hendaklah dia mengerjakan kebajikan dan janganlah dia mempersekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Tuhannya."Berdasarkan kedua dalil di atas, sebaik-baiknya bekal yang harus dipersiapkan untuk menghadapi kematian atau hari kiamat adalah amal sholeh atau kebajikan. Melalui ayat di atas juga, Allah SWT memerintahkan manusia untuk melaksanakan ibadah dengan tulus dan ikhlas, semata-mata karena Allah SWT ta'ala."Barangsiapa yang mengharapkan pahala dari Allah pada hari perjumpaan denganNya, maka hendaklah ia tulus ikhlas dalam ibadahnya, mengesakan Allah dalam rububiyah dan uluhiyah-Nya dan tidak syirik," tulis Kementerian Agama RI dalam sholeh dalam kehidupan di dunia akan memberatkan timbangan kebaikan kita di akhirat. Sebab itu, amal sholeh menjadi salah satu bekal yang paling utama bagi manusia di akhirat kelak sebagaimana yang dikutip dari buku Be Excellent Menjadi Pribadi Terpuji karya H. Ahmad amal sholeh, amar ma'ruf nahi munkar juga bisa dipersiapkan bagi manusia sebagai bekalnya saat mengahadapi kematian dan hari kiamat. Amar ma'ruf berarti memerintahkan orang lain melakukan kebaikan, sementara nahi munkar artinya mencegah manusia dari melakukan kemungkaran."Melakukan amar ma'ruf nahi munkar paling tidak kita menjadi orang yang melakukan kebaikan dan mencegah diri dari melakukan kemunkaran," tulis H. Ahmad Yani dalam penjelasan mengenai sebaik-baiknya bekal yang harus dipersiapkan manusia untuk menghadapi kematian atau pun hari kiamat. Semoga bermanfaat ya, detikers. Simak Video "Permintaan Maaf Wanita Simpan Al-Qur'an Dekat Sesajen-Akui Tertarik Islam" [GambasVideo 20detik] rah/row Bersikap Seimbang untuk Dunia dan Akhirat Oleh Sofwan Hadikusuma, Lc, Jika ada yang bertanya, untuk apa sebenarnya manusia diciptakan di dunia ini? Sebagai seorang muslim, tentu akan mudah menjawabnya untuk beribadah. Demikian karena tujuan penciptaan memang telah jelas dititahkan oleh Allah swt. yaitu dalam firman-Nya pada surat adz-dzariyat ayat 56 yang artinya berbunyi “Tiadalah aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah menyembahku”. Ayat ini berlaku umum menjelaskan bahwa tugas pokok kita sebagai manusia pada dasarnya adalah untuk beribadah semata. Namun demikian, apakah yang dimaksud dengan ibadah di sini hanya seperti yang kita bayangkan yaitu melaksanakan rukun Islam semata? Atau hanya berdiam di masjid berdzikir kepada Allah tanpa henti tanpa melakukan kegiatan apapun selainnya? Tentu tidak. Ketentuan bahwa satu-satunya tugas kita sebagai makhluk ciptaan Allah adalah untuk beribadah memang tidak dapat didustakan. Namun kenyataan bahwa kita hidup di dunia juga tidak dapat dikesampingkan. Setiap manusia di dunia memiliki jalan takdir hidupnya masing-masing. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari, Rasulullah saw. menerangkan bahwa nasib manusia pada hakikatnya sudah ditentukan, termasuk rezeki, ajal, amal, kesedihan, dan kebahagiaannya. Hal ini seharusnya meniscayakan adanya iman kepada Allah bahwa Dia lah satu-satunya yang berkuasa dan tiadalah manusia melakukan sesuatu apapun kecuali ditujukan untuk menggapai ridha-Nya. Manusia memang diciptakan dengan berbagai macam watak dan karakter. Berdasarkan tingkat kesadarannya, aktivitas yang dilakukan tentu juga akan berbeda-beda. Seseorang dengan kesadaran bahwa kehidupan di dunia hanya sementara, akan bisa menyeimbangkan kebutuhan duniawi dengan akhiratnya. Sementara seseorang dengan tingkat kesadaran tidak berimbang, akan lebih condong memprioritaskan salah satu dari keduanya. Dari Anas ra. ia berkata, Ada tiga orang mendatangi rumah istri-istri Nabi saw. untuk bertanya tentang ibadah beliau. Setelah diberitahukan, mereka menganggap ibadah mereka sedikit sekali. Mereka berkata, “Kita ini tidak ada apa-apanya dibandingkan Nabi saw., padahal beliau sudah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu maupun yang akan datang.” Salah seorang dari mereka mengatakan, “Aku akan melakukan shalat malam seterusnya.” Lainnya berkata, “Aku akan berpuasa seterunya tanpa berbuka.” Kemudian yang lain juga berkata, “Sedangkan aku akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah.” Melihat kepada potongan hadis di atas, tentu ada rasa kagum bagaimana semangat ibadah para sahabat yang sangat tinggi. Namun ternyata, setelah kabar ketiga sahabat tersebut sampai kepada Nabi saw., beliau memiliki tanggapan yang berbeda. Beliau menegaskan bahwa telah berlebih-lebihan dalam melakukan ibadah sehingga melupakan aspek kehidupan dunia, padahal amalan yang demikian tidak dicontohkannya. Pada lanjutan hadis dijelaskan bahwa Rasulullah saw. mendatangi mereka seraya bersabda, “Benarkah kalian yang telah berkata begini dan begitu? Demi Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut kepada Allah dan paling bertaqwa kepada-Nya di antara kalian. Akan tetapi aku berpuasa dan berbuka, aku shalat malam dan aku juga tidur, dan aku juga menikahi wanita. Maka siapa yang tidak menyukai sunahku, ia tidak termasuk golonganku.” Sebaliknya, terlalu memperhatikan dunia hingga melupakan akhirat tentu juga tidak baik. Manusia memang diciptakan dengan akal dan dihiasi dengan keinginan syahwat pada keindahan-keindahan duniawi. Allah swt berfirman dalam surat Ali Imran ayat 14 yang artinya adalah, “Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik surga.” Dalam ayat tersebut Allah menjelaskan bahwa wanita, anak, harta, kendaraan, termasuk sawah ladang adalah keindahan dunia yang wajar jika manusia condong kepadanya. Kecintaan terhadap beberapa hal tersebut pada dasarnya adalah sah karena fitrah manusia memang diciptakan demikian. Namun kemudian menjadi tidak wajar jika kecintaan yang timbul menjadi berlebihan, apalagi menjadikan kesemuanya itu hanya sebagai tujuan hidup tanpa memperhatikan urusan akhirat. Sejatinya, dunia memang diciptakan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 29 yang artinya berbunyi, “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak menciptakan langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.” Dipahami dari ayat ini adalah bahwa bumi dijadikan untuk manusia, artinya manusi memiliki hak untuk memanfaatkan segala apa yang ada di dalamnya. Pemanfaatan itu tentu harus dipahami pada hal-hal yang mengandung maslahat saja, termasuk memenuhi kebutuhan primer, sekunder, maupun tersier, dalam ukuran yang diizinkan oleh syariat. Tentu kita semua pernah mendengar atau membaca kisah viral seseorang yang memiliki kekayaan tiada bandingannya di muka bumi ini, Qarun. Dikisahkan bahwa pada awalnya Qarun adalah seseorang yang miskin. Lalu dia meminta Nabi Musa as. untuk mendoakannya agar diberikan kekayaan kepadanya. Doa itu akhirnya dikabulkan dan Qarun lantas menjadi orang yang kaya. Al-Quran menggambarkan betapa kekayaan tersebut sangat melimpah. Saking kayanya, bahkan kunci-kunci gudang hartanya sangat berat dan harus diangkat oleh beberapa orang kuat. Namun, kecintaannya yang berlebihan terhadap harta kekayaannya memunculkan perasaan sombong yang pada akhirnya mengantarkannya pada kebinasaan. Imam Bukhari meriwayatkan satu hadis dari Abu Hurairah bahwa Nabi saw. berkata, “Celaka budak dinar, dirham, dan kain qathifah. Jika diberi dia ridha, jika tak diberi dia tak rela.” Melalui hadis tersebut, Rasulullah saw. menekankan bahwa sungguh tak elok manusia yang hatinya terpaku pada keberadaan harta. Menjadi kaya memang tidak salah, tapi menempatkan kekayaan pada hati tidaklah dianjurkan. Tercatat dalam sejarah, tidak sedikit para alim ulama yang mempunyai kekayaan yang banyak, namun kekayaan tersebut tidak menggoyahkan hati mereka dalam menyikapi kehidupan di akhirat. Islam menganjurkan keseimbangan dalam menyikapi kehidupan dunia dan akhirat. Tidak berlebihan pada dunia, sebaliknya juga tidak berlebihan pada akhirat. Dalam surat Al-Qashash ayat 77 Allah swt. berfirman, “Carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu kebahagiaan negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari kenikmatan duniawi dan berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” Ayat ini menjelaskan kepada kita bahwa akhirat memang telah disediakan sebagai tempat kembali, namun sebelumnya manusia juga ditakdirkan hidup di dunia. Dengan begitu, sebagaimana akhirat harus dipersiapkan, dunia juga harus dijadikan tempat mempersiapkan hidup di akhirat kelak. Dalam sebuah ungkapan dikatakan bahwa dunia adalah ladang akhirat ad-dunya mazra’at al-akhirah. Maksudnya adalah bagaimana kita harus bersikap terhadap dunia untuk menjadikannya sebagai ladang di mana kita menanam berbagai amal baik untuk dipanen nantinya di akhirat. Jika amal yang kita tanam berasal dari bibit yang kurang baik, kita harus bersiap memanen hasil yang kurang baik. Sebaliknya jika yang kita tanam berasal dari bibit yang baik, maka kita akan bergembira dengan hasil yang baik pula di akhirat kelak. Allah berfirman, “Siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun dia akan melihat balasannya. Siapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun dia akan melihat balasannya pula.” Di antara atsar yang lumrah disebarkan sebagai hadis Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam adalah perkataan, اعْمَلْ لِدُنْيَاكَ كَأَنَّكَ تَعِيْشُ أَبَدًا، وَاعْمَلْ لِآخِرَتِكَ كَأَنَّكَ تَمُوْتُ غَدًا Artinya Beramallah untuk kehidupan duniamu seakan-akan engkau hidup selamanya, dan beramallah untuk kehidupan akhiratmu seakan-akan engkau akan mati esok hari. Di dalam riwayat lainnya disebutkan dengan menggunakan lafaz احْرُثْ yang bermakna bekerjalah atau berusahalah sebagaimana banyak disebutkan oleh ulama bahasa yang mengarang kitab lughah atau mu’jam Bahasa Arab, tatkala mereka ber-istisyhad untuk lafaz Al-Harts dengan perkataan di atas sebagai hadis Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Al-Jauhari rahimahullah berkata dalam kitabnya Al-Shihaah الحَرْثُ كَسْبُ الماَلِ وَجَمْعُهُ. وَفِيْ الحَدِيْثِ احْرُثْ لِدُنْيَاكَ كَأَنَّكَ تَعِيْشُ أَبَداً Artinya Al-Harts maknanya mencari harta dan mengumpulkannya, sebagaimana disebutkan dalam hadis bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau hidup Hal yang sama juga dilakukan oleh Ibnu Faris dalam kitabnya Mujmal Al-Lughah, Ibnul Atsir dalam kitabnya Al-Nihayah fi Garib Al-Hadits Wal-Atsar, Ibnu Mandzur dalam kitabnya Lisan Al-Arab, dan ulama lainnya. Kemasyhurannya menyebabkan ia dinisbatkan kepada hadis Nabi, hingga Syaikh Abdul Karim Al-Amiry Al-Ghazzy tidak menyebutkannya dalam kitabnya Al-Jidd Al-Hatsits Fi Bayan Maa Laisa Apabila diteliti lebih lanjut, perkataan ini sebenarnya diriwayatkan secara marfuk kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan diriwayatkan pula secara maukuf dari perkataan Abdullah bin Amru radiyallahu anhuma. Al-Baihaqi dalam kitabnya Al-Sunan Al-Kubra 3/28 meriwayatkannya dari jalur Abu Shalih, dari Al-Laits, dari Muhammad bin Ajlan, dari Maula Umar bin Abdul Aziz, dari Abdullah bin Amru bin Al-Ash, dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda dengan lafaz اعْمَلْ عَمَلَ امْرِئٍ يَظُنُّ أَنْ لَنْ يَمُوتَ أَبَدًا، وَاحْذَرْ حَذَرًا يَخْشَى أَنْ يَمُوتَ غَدًا Artinya Beramallah dengan amalan seorang yang menganggap bahwa ia tidak akan mati selamanya, dan berhati-hatilah dengan kehati-hatian seorang yang takut bahwa ia akan mati esok Sanad hadis ini lemah karena dua illah atau sebab, pertama adanya seorang rawi yang majhul atau tidak dikenal dalam sanadnya yaitu Maula Umar bin Abdul Aziz, kedua lemahnya perawi yang bernama Abu Shalih Abdullah bin Shalih, alias tukang tulis Al-Laits yang memiliki kelemahan karena ia meriwayatkan hadis-hadis munkar yang tidak pernah ia dapatkan dari guru-gurunya, disebabkan adanya permusuhan antara ia dengan tetangganya sehingga tetangganya membuat makar atasnya dengan menulis hadis-hadis palsu pada sebuah buku yang menyerupai tulisan Abdullah bin Shalih dan melemparkannya ke tumpukan kitab-kitabnya. Akhirnya Abdullah menganggap bahwa isi buku itu adalah hadis-hadis yang telah ia dapatkan dari gurunya, kemudian ia meriwayatkannya kepada murid-muridnya. Adapun riwayat maukuf dari perkataan sahabat Nabi, maka ia dia diriwayatkan Ibnu Qutaibah dalam kitabnya Gharib Al-Hadits 1/2864, dari Al-Sijistani, dari Al-Ashma’i, dari Hammad bin Salamah, dari Ubaidullah bin Al-Aizar, dari Abdullah bin Amru radiyallahu anhuma bahwasanya beliau mengatakan, “Beramallah untuk kehidupan duniamu seakan-akan engkau hidup selamanya, dan beramallah untuk kehidupan akhiratmu seakan-akan engkau akan mati esok hari.” Dalam sanad riwayat maukuf ini terdapat Ubaidullah bin Al-Aizar yang disebutkan biografinya oleh Imam Al-Bukhari dalam kitabnya Al-Tarikh Al-Kabir 5/3945, Ibnu Abi Hatim dalam Al-Jarh Wa Al-Ta’dil 5/3306, Ibnu Hibban dalam Al-Tsiqaat 7/1487, dan ulama lainnya, bahwa ia adalah Ubaidullah bin Al-Aizar Al-Mazini Al-Bashri dan di-tsiqah-kan oleh Yahya bin Sa’id Al-Qaththan. Dijelaskan pula bahwa ia meriwayatkan dari Al-Hasan Al-Bashri, Sa’id bin Jubair, dan ulama lainnya dari kalangan tabiin sehingga nampak bahwa sanad riwayat ini lemah karena ia munqathi’ atau terputus. Hal yang menguatkan terputusnya riwayat maukuf ini adalah apa yang diriwayatkan oleh Al-Haitsami dalam kitab Zawaid Musnad Al-Harits 2/983 dari Ubaidullah bin Al’Aizar bahwa ia bertemu dengan seorang syekh yang berusia lanjut di daerah Al-Raml, kemudian ia bertanya, “Apakah engkau pernah bertemu dengan salah seorang sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam?” Syekh itu menjawab, “Ya.” Ia kembali bertanya, “Siapa sahabat tersebut?” Dijawabnya, “Abdullah bin Amru.” Kemudian syekh itu menyampaikan perkataan Abdullah, “Beramallah untuk kehidupan duniamu seakan-akan engkau hidup selamanya, dan beramallah untuk kehidupan akhiratmu seakan-akan engkau akan mati esok hari.”8 Dalam riwayat di atas nampak bahwa Ubaidullah bin Al-Aizar meriwayatkan perkataan Abdullah bin Amru tersebut dari seorang syekh yang mubham atau tidak diketahui siapa orangnya, sehingga riwayat ini menjadi lemah karenanya. Dari pemaparan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa perkataan ini diriwayatkan secara marfuk dan maukuf, namun kedua-duanya datang melalui jalur yang lemah dan tidak sahih. Karena itu Syekh Albani menghukumi hadis ini dengan mengatakan, “Hadis ini tidak memiliki dasar hadis secara marfuk kepada Nabi shallallahu alaihi Demikian halnya Syekh Al-Utsaimin yang menghukuminya sebagai hadis Adapun makna hadis ini maka bagian keduanya yaitu وَاعْمَلْ لِآخِرَتِكَ كَأَنَّكَ تَمُوْتُ غَدًا “Dan beramallah untuk kehidupan akhiratmu seakan-akan engkau akan mati esok hari” memiliki makna yang sahih agar senantiasa termotivasi untuk beramal dan menyiapkan diri guna menyongsong kehidupan akhirat kelak. Makna ini juga dijelaskan oleh banyak dalil syar’i dari Alquran dan hadis-hadis Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, seperti firman Allah dalam Al-Qashash 77 وَٱبۡتَغِ فِيمَآ ءَاتَىٰكَ ٱللَّهُ ٱلدَّارَ ٱلۡأٓخِرَةَۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ ٱلدُّنۡيَاۖ ٧٧ Terjemahnya Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu kebahagiaan negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari kenikmatan duniawi. Sedangkan bagian pertama hadis ini yaitu اعْمَلْ لِدُنْيَاكَ كَأَنَّكَ تَعِيْشُ أَبَدًا “Beramallah untuk kehidupan duniamu seakan-akan engkau hidup selamanya” maka terdapat makna yang sahih dan makna yang keliru. Makna yang sahih apabila dipahami bahwa perkataan ini merupakan ajakan untuk senantiasa melakukan sebab-sebab dimudahkannya rezeki dari Allah dan berusaha memakmurkan kehidupan dunia pada perkara yang diridai oleh Allah subhanahu wa ta’ala atau dipahami bahwa perkataan ini merupakan ajakan untuk zuhud terhadap kehidupan dunia dan tidak bersegera pada perkara dunia, karena apabila seseorang hidup selamanya niscaya apa yang tidak ia dapatkan hari ini maka akan ia dapatkan esok. Sedangkan makna yang keliru adalah apabila dipahami bahwa ia merupakan ajakan untuk menikmati kehidupan dunia dengan segala perhiasannya, serta memperturutkan hawa nafsu dan cinta pada dunia. Ibnul Atsir rahimahullah menjelaskan bahwa makna zahir dari perkataan ini bahwa untuk kehidupan dunia maka ia merupakan ajakan untuk memakmurkannya dan orang-orang yang hidup di dalamnya, agar umat yang datang pada masa mendatang mendapatkan manfaat dari apa yang dilakukan saat ini, sebagaimana mereka yang hidup saat ini mendapatkan manfaat dari orang-orang sebelumnya. Karena jika seseorang tahu bahwa ia akan berumur panjang, niscaya ia akan memperbaiki dan memaksimalkan setiap perbuatan dan pekerjaannya. Sedangkan untuk kehidupan akhirat, ia merupakan ajakan untuk senantiasa memiliki keikhlasan dalam setiap amalan kebajikan yang dilakukan dan mendorongnya untuk memperbanyak amal ibadah serta ketaatan kepada Allah. Karena seorang yang tahu bahwa ia akan mati besok niscaya akan meningkatkan ibadahnya, dan ikhlas dalam ketaatan, seperti yang disabdakan Rasulullah dalam hadis lainnya, “Salatlah seperti salatnya orang yang akan berpisah dari kehidupan dunia”.11 Beliau kemudian menjelaskan lagi bahwa menurut sebagian ulama, makna perkataan ini tidaklah sebagaimana zahirnya karena Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menganjurkan untuk bersikap zuhud terhadap dunia dan tidak menikmati kelezatan serta perhiasannya. Inilah yang dominan dalam setiap perintah dan larangan beliau terkait kehidupan dunia, sehingga bagaimana mungkin Rasulullah memerintahkan untuk memakmurkan dan menikmati dunia? Karena itu makna yang sahih apabila seorang manusia tahu bahwa ia akan hidup selamanya niscaya ia akan zuhud terhadap dunia sebab apa yang telah ditakdirkan untuknya, jika tidak ia dapatkan hari ini maka ia akan mendapatkannya esok. Adapun untuk akhirat, maka maknanya sebagaimana zahirnya. Al-Azhari rahimahullah menjelaskan bahwa makna perkataan ini berisi ajakan untuk mendahulukan urusan akhirat dari kepentingan dunia karena takut akan dekatnya kematian, dan mengakhirkan urusan dunia karena khawatir apabila tersibukkan dari urusan OLEH HASANUL RIZQA Dunia yang kita tempati sekarang bersifat sementara. Begitu habis jatah usia, setiap manusia akan meninggalkan alam fana menuju akhirat. Islam mengimbau agar kaum beriman lebih banyak merenungi negeri akhirat daripada hanyut dalam ingar-bingar duniawi. “Dan kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan senda gurau. Sedangkan negeri akhirat itu, sungguh lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Tidakkah kamu mengerti?” QS al-An’am 32. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Aku tidak memiliki kecenderungan kecintaan terhadap dunia. Keberadaanku di dunia bagaikan seorang musafir yang berteduh di bawah pohon, kemudian pergi dan meninggalkan pohon itu.” HR Tirmidzi. Segera Beramal Nasihat Rasulullah SAW menyiratkan, kaum Muslimin semestinya memanfaatkan dunia untuk kepentingan akhirat. Bukan malah sebaliknya, yakni memburu dunia dengan menjual iman dan Islam. Padahal, keduanya adalah bekal terpenting setiap insan di negeri akhirat kelak. Nabi SAW menyuruh umatnya untuk tidak menunda-nunda amal saleh sepanjang hayat masih dikandung badan. Apalagi, tanda akhir zaman satu per satu tampak. Di antaranya adalah kemunculan penjual agama. “Bersegeralah kalian melakukan amal shalih sebelum datangnya berbagai fitnah yang seperti potongan-potongan malam yang gelap gulita. Pada waktu pagi, seorang masih beriman, tetapi di sore hari sudah menjadi kafir; dan pada waktu sore hari seseorang masih beriman, kemudian di pagi harinya sudah menjadi kafir. Ia menjual agamanya dengan sekeping dunia” HR Muslim. Lekas Bertobat Nilai umur seseorang tidak terletak pada kuantitasnya, melainkan kualitas dan keberkahannya. Bagi orang beriman, usia adalah durasi hidup yang diberikan Allah SWT untuk beribadah. Namun, manusia umumnya cenderung lalai dari mengingat dosa dan kesalahan. Padahal, Allah Mahateliti lagi Maha Menyaksikan. Tobat merupakan jalan untuk menghapus dosa dan kesalahan yang pernah dilakukan. “Wahai orang-orang yang beriman! Bertobatlah kepada Allah dengan tobat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu.” QS at-Tahrim 8. Selagi masih diberi jatah usia, manfaatkanlah waktu di dunia untuk memperbanyak istighfar. Dan, jangan berputus asa dari rahmat dan ampunan Allah. Sebab, Dia menyukai hamba-hamba-Nya yang bersegera dalam bertobat. “Sungguh, Allah menyukai orang yang tobat dan menyukai orang yang menyucikan diri” QS al-Baqarah 222. Seimbang Mengutamakan akhirat tidak berarti mengabaikan dunia. Ibaratnya, akhirat adalah padi, sedangkan dunia itu rumput. Tanamlah padi, maka rumput akan tumbuh di sekitarnya. Bila menanam rumput belaka, jangan harap akan tumbuh padi di dekatnya. Maknanya, fenomena dunia bagi orang-orang saleh itu datang tanpa perlu diundang. Mereka meyakini, Allah mencukupkan rezeki bagi hamba-hamba-Nya di dunia. Karena itu, tak ada rasa gundah-gulana dalam hatinya mengenai perkara-perkara duniawi. Islam mengajarkan keseimbangan. Jangan sampai seorang Muslim melupakan bagiannya yang halal dan baik di dunia. “Dan carilah pahala negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi” QS al-Qasas 77. BOGOR – Alquran memberikan tuntunan kepada kaum Muslimin untuk meraih hidup sukses di dunia dan akhirat. Salah satunya adalah Surat Al Qhoshosh 28 ayat 77, yang artinya, “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu kebahagiaan negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari kenikmatan duniawi dan berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” “Ayat ini berkaiatan dengan empat prinsip hidup Muslim, supaya sukses hidup didunia dan akhirat,” kata guru besar IPB Bogor dan Universitas Ibnu Khaldun UIKA Bogor, Prof Dr KH Hafidhuddin MS. Ia mengutarakan hal tersebut saat mengupas Kajian Tafsir Tematik Pendidikan di Masjid Al Ikhlas Bosowa Bina Insani, Bogor, Jawa Barat, Jumat 5/4. Pengajian tersebut diikuti para guru Sekolah Bosowa Bina Insani SBBI. Kiai Didin menjelaskan, prinsip pertama agar hidup sukses di dunia dan akhirat adalah menjadikan akhirat sebagai tujuan. Hal ini sangat penting, karena kehidupan akhirat merupakan kehidupan yang abadi, sedangkan dunia sifatnya terbatas atau alam fana. “Dunia adalah darul amal tempat beramal, sedangkan akhirat adalah darul jaza tempat pembalasan. Kita sebagai Muslim harus yakin kehidupan akhirat,” ujarnya seperti dikutip dalam rilis SBBI yang diterima Jumat 5/4. Orang yang memiliki kesadaran yang tinggi, Kiai Didin menambahkan, adalah mereka yang menjadikan akhirat sebagai tujuan utama. Orang tersebut pasti bertanggung jawab dalam hidupnya kepada Allah SWT. Misalnya dalam hal mencari rezeki. Mereka hanya mencari rezeki yang halal, dan menjauhkan diri dari rezeki yang haram. “Hal itu karena mereka meyakini, sekecil apa pun sebuah perbuatan pasti dimintai pertanggungjawabannya,” tuturnya. Allah menegaskan dalam Surat Al-Zalzalah ayat 7 dan 8, “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat balasannya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat balasannya pula.” Prinsip kedua, kata Kiai Didin, kaum Muslimin harus menguasai dunia, tapi tidak dikuasai dunia. ““Kita harus unggul di dunia. Kita harus menguasi urusan dunia, tapi jangan sampai kita dikendalian oleh dunia. Kita harus mengusai ekonomi, tapi jangan sampai kita dikendalikan oleh ekonomi. Orang yang seperti ini ringan tangan untuk bersedekah,” ujarnya. Pakar zakat itu menyebutkan, para sahabat Nabi banyak yang merupakan orang kaya atau menguasai ekonomi, namun mereka tidak dikuasai ekonomi. Mereka gemar bersedekah. Contoh Utsman bin Affan. Sekali ia bersedekah, jumlahnya 100 ekor unta. Kalau harga satu unta Rp 50 juta, berarti sekali dia bersedekah jumlahnya Rp 5 miliar. Contoh lain, saudagar Abdurrahman bin Auf yang menyedekahkan dua per tiga keuntungan bisnisnya kepada masyarakat. “Mereka menjadikan dunia ini sebagai sarana menuju kebahagiaan akhirat,” paparnya. Prinsip ketiga adalah berbuat baiklah semaksimal mungkin tanpa melihat atau memperhitungkan balasan yang akan diterima. “Contohlah Allah yang berbuat baik kepada para makhluknya, tanpa berharap balasan apa pun dari makhluk-Nya. Apa pun pekerjaan kita, termasuk di antaranya menjadi guru, berbuatlah yang terbaik, berikanlah yang terbaik. Jangan kaitkan dengan imbalan atau gaji, melainkan berikanlah yang terbaik karena Allah. Allah pasti memberikan balasan yang terbaik melalui berbagai cara. Pendek kata, kita harus bekerja secara maksimal, tidak melihat materi semata,” ujarnya. Prinsip keempat, kata Kiai Didin, kaum Muslimin tidak boleh membuat kerusakan di muka bumi ini. “Kerusakan ini mencakuo berbagai hal, termasuk kerusakan ekonomi, lingkungan, pendidikan dan lain-lain. Kita harus menghindarkan diri kita dari berbuat kerusakan, sebab Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan,” tegasnya. BACA JUGA Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Klik di Sini

mengapa manusia harus beramal untuk kehidupan akhirat